Anti-Tesis Dongeng dan Mistika Jawa dalam Arok Dedes
Aneh rasanya jika tidak membicarakan tentang buku bacaan terbaik di tahun 2022, terutama jika sebagian besar aktivitas di tahun 2022 adalah membaca buku. Maka dari itu saya memulai sebuah review singkat untuk beberapa buku terbaik yang telah saya baca di tahun 2022, singkatnya, best read 2022. Tentu saja, buku yang ingin saya bicarakan pertama kali adalah Arok Dedes.
Sebelumnya, saya ingin mencantumkan review singkat saya tentang buku ini di goodreads yaitu sebagai berikut:
“Pramoedya Ananta Toer berhasil menuliskan fiksi-realis untuk sebuah kisah yang biasanya menjadi santapan penulis fantasi. Kudeta terencana menggulingkan Tunggul Ametung, seorang Akuwu Tumapel, terkisahkan begitu nyata dan erat dengan lanskap kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara. Lantas di akhir nanti, apakah Arok dan Dedes sama2 terlibat atau juga menjadi korban?”
Arok Dedes adalah buku pertama dari sebuah tetralogi karya Pramoedya Ananta Toer, yang terkenal dengan tetralogi sejarahnya: Tetralogi Buru. Arok Dedes mengawali tetralogi yang lain, yang kemudian dikenal dengan nama Tetralogi Arok Dedes. Secara berurutan, tetralogi ini dimulai dari Arok Dedes, kemudian Mata Pusaran (hilang, hanya ditemukan sebagian naskahnya), Arus Balik, lalu ditutup dengan Mangir yang merupakan sebuah naskah drama.
Lantas, apa kisah yang terkandung dalam tetralogi ini, dan apa makna dari kisah Arok Dedes?
Saya mengenal Pram lewat Bumi Manusia, dan sebelum membaca karya tersebut, saya membayangkan Pram sebagai salah satu sastrawan angkatan ’45 yang menggebu menceritakan perlawanan terhadap bangsa kolonial. Perkiraan saya sedikit meleset, tapi saya senang akan hal itu. Lewat Bumi Manusia saya sedikit merasakan Pram adalah seorang penulis Jawa yang menceritakan kegelisahannya atas sifat inferior yang dimiliki bangsa Indonesia pasca kemerdekaan. Bahwa arti merdeka tidak ada gunanya jika bangsa ini masih terus saja merasa rendah diri. Saya terpukau dengan alegori sederhana tapi tegas dari Pram di Bumi Manusia. Selanjutnya, saya mendengar jika beliau menulis kisah tentang Arok dan Dedes, yang kemudian menjadi moyang raja-raja Jawa. Mendengar hal itu, saya terkejut. Apa kira-kira yang ingin disampaikan Pram dalam kisah kerajaan-kerajaan Jawa?
Anti-tesis dongeng dan mistika Jawa
Membaca buku fisik Arok Dedes tidak lengkap tanpa membaca pengantar dari penerbit milik anak dari Pram, Lentera Dipantara, yang menerbitkan ulang karya-karya penulis tersebut. Dikatakan jika Arok Dedes adalah sebuah cerita yang menolak khayalan fantasi dan dongeng yang selama ini secara mistis menyelimuti kisah antara Arok dan Dedes serta dalam kisah berdirinya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara, khususnya di Jawa. Hal ini membuat jantung saya berdegup kencang, karena selama ini dalam pikiran saya membicarakan Arok tentu berkaitan dengan keris Mpu Gandring yang konon dikutuk akan mencabut nyawa tujuh turunan Arok dan Tunggul Ametung, seorang Akuwu Tumapel yang merupakan suami sah Dedes. Tak sabar ingin mencari lebih tahu tentang legenda keris tersebut, saya pun mulai membaca Arok Dedes.
Rupanya, yang saya dapatkan dari karya Pram ini jauh lebih dahysat daripada mitos tersebut.
Sebelumnya perlu diingat juga, kisah ini fiksi, tapi bagi saya, pemaknaannya bisa dikenakan pada kehidupan sehari-hari.
Konflik di Arok Dedes dimulai dari kegeraman kaum Brahmana terhadap Tunggul Ametung, seorang Akuwu Tumapel yang awalnya adalah seorang sudra yang kemudian ‘disatriakan’ (diangkat kastanya) oleh Kretajaya. Namun pengangkatan ini bersifat politik semata yaitu agar aliran upeti dari Tumapel menuju Kediri lancar tanpa halangan. Kebencian kaum Brahmana bertambah ketika Dedes, anak dari Mpu Parwa, diculik dan diperkosa oleh Tunggul Ametung untuk dijadikan istri sah yang kedua.
Selain benci kepada Tunggul Ametung, kaum Brahmana juga membenci Raja Erlangga yang melanggar ajaran Hindu yaitu dengan mengabaikan ajaran Hyang Syiwa dan malah memilih menyembah Hyang Wisynu. Kebencian mereka bertambah ketika Raja Erlangga menyebut dirinya adalah sosok keturunan Wisynu. Tindakan manusia yang semena-mena mengklaim diri mereka adalah titisan dewa dari kepercayaan Hindu membuat kaum Brahmana murka. Akhirnya muncullah Wangsa Isana — Dinasti Erlangga, yang akhirnya menyembah keturunan dewa Hindu tersebut, alih-alih Hyang Wisynu sendiri.
Sementara itu, Arok adalah calon Brahmana yang berguru kepada Lohgawe, salah seorang dari kaum Brahmana yang membenci praktik pemujaan Hyang Wisynu oleh Kerajaan Kediri. Namun, Arok sebelumnya belajar dari seorang Budha bernama Tantripala, dan belajar bersama para Brahmana membuatnya menyadari konflik lain dari kaum Brahmana dengan Budha.
Kaum Brahmana adalah para penyembah Syiwa, dan selain menentang penyembahan titisan Hyang Wisynu, mereka juga menentang penyembahan Budha. Sikap menentang Lohgawe dan kaum Brahmana lain dinilai Arok sebagai sikap arogan kaum Brahmana terhadap umat manusia lain yang memiliki perbedaan kepercayaan.
Perbedaan pandangan tentang siapa yang disembah oleh kaum penyembah Wisynu dan penyembah Syiwa menjadi hal yang menarik bagi saya. Saya anggap hal ini seperti cerita konflik agama terkait perbedaan aliran, yang ironisnya justru semakin sering terjadi di masa sekarang. Konflik ini tercetak jelas dalam penuturan Pram mengenai keangkuhan kaum Brahmana mengenai kehebatan Hyang Syiwa sebagai dewa yang mereka sembah. Lohgawe adalah sosok kunci yang digunakan Pram untuk menceritakan hal ini, mengenai bagaimana sosoknya sudah belajar mengenai ajaran Budha tapi kecewa dan memilih menyembah Hyang Syiwa yang dianggapnya lebih kuat.
Ada alasan mengapa Lohgawe meninggalkan Budha dan memilih menyembah Hyang Syiwa. Pada akhirnya Lohgawe setelah mempelajari kebesaran Budha, dia heran dengan kaum Budha yang tidak mengejar kebesaran itu. Mereka sudah cukup meyakini kebesaran yang mereka sembah tanpa harus melihat kebesaran itu sendiri, tanpa harus menyadari keberadaan kebesaran tersebut.
Bukankah manusia modern sebenarnya masih berjibaku dengan masalah ini? Bukankah manusia masih mencari bukti kehebatan dan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa hanya untuk meyakini keberadaan Tuhan itu sendiri? Sebagai penganut agama Islam, saya teringat akan kisah kaum Bani Israil yang bersama Nabi Musa mencari tempat tinggal dalam Surah Al Baqarah. Mereka hanya diminta untuk yakin kepada Tuhan tapi mereka meminta bukti keberadaan Tuhan yang sangat jelas, sehingga akhirnya mereka malah menyembah seekor sapi betina. Dalam kisah praktik keagamaan Hyang Syiwa, Hyang Wisynu, dan Budha inilah menurut saya kemampuan Pram terbukti. Dia tidak hanya mematahkan kisah mistis mengenai keris Mpu Gandring, tapi juga menceritakan tentang kondisi bangsanya sendiri yang masih terbata-bata mencari keberadaan Tuhan Pencipta Semesta Alam.