Arus Balik: Saat Bangsa Jawa Kehilangan Cita-cita dan Akal Diri

Maymunah Nasution
6 min readJul 31, 2024

--

Photo by Joshua Kettle on Unsplash

Novel ketiga dari tetralogi Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer berjudul Arus Balik menitikberatkan nasib bangsa Jawa saat menghadapi dua transisi besar: hadirnya para bangsa kolonial dari Portugis dan Spanyol serta munculnya kerajaan Islam Demak yang menggeser dominasi Kerajaan Hindu Majapahit.



Novel ini memberi sudut pandang sebagian besar dari Kerajaan Tuban, pecahan Majapahit yang tengah dipimpin oleh Adipati Tuban: Adipati Arya Wilwatikta.



Dalam 200 halaman pertama novel ini Pram dengan cepat menggulirkan kegundahan bangsa tanpa menutupi apapun. Kegundahan bangsa Jawa didapati setelah banyak muncul pengkhianatan, yang mengakibatkan Jawa takut dan tak lagi kuat.



Tokoh guru Rama Cluring yang hadir di bab pertama Arus Balik telah menyampaikan penyebabnya sedari awal: pemimpin yang serakah, culas, dan masyarakat yang hanya diam saat ditindas. Pram sendiri mengatakan apa yang dirasakan bangsa Jawa adalah ketiadaan ketentraman yang hadir di alam semesta.



Pemimpin yang serakah hadir setelah Majapahit runtuh. Daerah-daerah kekuasaan Majapahit tak lagi berkenan untuk dikuasai kerajaan itu terutama daerah pesisir. Mereka memilih berdiri sendiri agar kekayaan dapat mereka nikmati sendiri.



Keruntuhan ini juga disebabkan oleh salah satunya Adipati Tuban. Dia membantu pengkhianatan daerah-daerah dan setelah mampu berdiri, Tuban dikuasai olehnya. Desa-desa di Tuban harus membayar upeti kepadanya terus-terusan. Rama Cluring mengingatkan, warga desa tak ubahnya tawanan perang Tuban yang ditangkap di medan perang.



Tak kuasa melawan, para warga desa kekuasaan Tuban hanya mampu pasrah mengikuti "permainan para raja". Tak ada dalam pemikiran mereka beranggapan jika raja hanyalah seorang manusia biasa seperti mereka sendiri.



Pemikiran ini sebagian besar hadir karena tradisi menokohkan seseorang yang dianggap pahlawan ataupun dianggap perkasa dan titisan dewa.



Di awal, Rama Cluring mengingatkan jika para raja hanyalah manusia biasa dan seorang anak petani bisa mengalahkan mereka yang dianggap titisan dewa tersebut. Darah anak petani itulah yang kemudian mendirikan Majapahit. Rama Cluring mendorong agar keberanian itu kembali hadir agar bangsa Jawa tetap mampu melawan saat ada yang menindas mereka.



Akhirnya, keberanian ini hadir dalam jiwa seorang pegulat dari desa Awis Krambil, Galeng. Galeng yang hanya pemuda desa harus berangkat ke Kota Tuban bersama kekasihnya, Idayu, untuk menyerahkan diri mereka menjadi milik Adipati Tuban. Kecantikan Idayu menyihir Adipati Tuban dan membuatnya jatuh cinta kepada gadis penari itu, tetapi Idayu memilih cinta sejatinya dan membuat Galeng diangkat menjadi pembantu kerajaan.



Posisi Galeng kini mengabdi kepada Adipati Tuban, dan kendati dia berangkat dengan semangat yang hadir oleh ajaran Rama Cluring, Galeng justru belajar pengkhianatan dari si ahlinya sendiri.



Dalam menghadapi gelombang Portugis dan Spanyol, Putra Mahkota Kerajaan Demak, Adipati Unus, menggalang kekuatan untuk menyerang Malaka dan merebut pelabuhan penting itu. Dia bertujuan untuk menghalau Portugis agar tidak memasuki wilayah Nusantara lebih dalam lagi. Saat Tuban dipanggil, Adipati Arya Wilwatikta justru sudah berniat menggagalkan serangan tersebut. Dia buat pasukan yang dipimpin oleh Galeng dan beberapa orang lain untuk terlambat masuk ke medan perang. Tentu saja hal itu membuat pasukan gabungan Demak hancur dan kalah. Galeng yang berhasil melaksanakan tipu daya Adipati Tuban baru menyadari belakangan jika langkah rajanya sangat salah dan menyesali pengkhianatan tersebut.



Penyesalan Adipati Arya Wilwatikta terdengar konyol dan sia-sia, terlebih setelah narasi dendamnya terhadap Demak terdengar kuat dan mendominasi. Namun, tokoh Galeng menyadari belakangan betapa keji dan culasnya pemimpin Tuban sekaligus lemahnya bangsa Jawa.



Apa kata Rama Cluring? "Aku bicara tidak tentang kematian, tetapi tentang kehidupan yang bercipta dan mencipta. Aku tak bicara tentang kematian, karena tanpa dibicarakan pun dia akan datang tepat pada waktunya.""



Galeng yang awalnya tidak mengerti sama sekali akhirnya memahami tentang cipta, tentang makna kehidupan, tentang upaya untuk terus hidup dan menciptakan. Dia tak lagi tenggelam dalam kematian dan kejayaan masa lalu, karena ada harapan dari setiap kehidupan yang hidup. Meski dia belum sepenuhnya memahami ini, Galeng telah satu langkah keluar dari bayang-bayang ketidakberdayaan menghadapi manusia lalim yang hadir dalam bentuk Adipati Tuban. Keyakinan mampu mencipta adalah bentuk awal keimanannya.



Keyakinan inilah yang kemudian membuatnya menyadari dengan cepat sikap Adipati Tuban dalam perlawanan terhadap Portugis. Adipati Tuban yang mengkhianati Demak dan Jepara mengorbankan gugusan Tuban, kapal, anak buah, dan prajuritnya, termasuk Galeng sendiri. Disadarinya Adipati Tuban memilih menjadi bandar rempah-rempah besar agar perdagangan Portugis dan Spanyol nantinya masuk lewat Tuban.



Saat itulah Galeng sudah hampir memahami pentingnya keyakinan diri yang hadir baik dari Islam maupun dari akalnya. Galeng yang tengah mencari makna kehidupan hampir menemukannya di Islam, dan Pram menunjukkan jika Islam adalah agama yang siap menantang status quo, bersifat progresif hingga membuat Portugis dan Spanyol terus berlayar ke seluruh dunia guna meneruskan Perang Salib agar Islam tidak tersebar ke seluruh dunia.



Islam hadir dan hampir menjadi jawaban bagi bangsa Jawa yang masih membutuhkan keyakinan dan ketetapan hati untuk hidup bermanfaat. Namun, di mata bangsa Jawa, Islam tak lain hanyalah alat lain bagi penguasa untuk berkuasa dan cara mereka lepas dari hukuman atas kelaliman mereka.



Ketidakpercayaan mereka terbukti saat muncul gelombang Islam baru dari para pengikut Sunan Rajeg di desa Rajeg. Sunan Rajeg bernama lain Rangga Iskak, mantan syahbandar Tuban yang kemudian diberi wilayah di pedesaan. Dendamnya terhadap Adipati Tuban membuatnya menghimpun kekuatan dengan dalih menyebarkan agama Islam kepada masyarakat Jawa.



Tak hanya mendendam kepada Tuban, Sunan Rajeg juga menaruh benci kepada Demak yang dia anggap hanyalah kerajaan Islam palsu yang hadir agar mendapatkan kekuasaan dan pengikut. Lewat orasinya, Sunan Rajeg membuktikan jika dirinya tidak jauh berbeda dari orang-orang yang dibencinya.



Sementara itu, Adipati Tuban semakin tersudut. Upayanya membangun persahabatan dengan Portugis dan Spanyol tak berhasil dan bandarnya tetap sepi dari perdagangan.



"Sang Adipati menghendaki dasar-dasar yang lama tidak berubah, ragu-ragu terhadap yang baru, sedangkan yang baru terus-menerus mendesak. Yang lama dengan segala keuntungan dan keamanannya tidak bisa dipertahankan sambil menerima keuntungan tambahan dari yang baru, dan itu yang Gusti Adipati tidak bisa terima."



Adipati Tuban mulai merasa tak bisa mendapatkan apa-apa dan perlahan-lahan dia kalah. Tak ada lagi yang memihaknya. Dia juga mulai memahami bahwa kekuasaannya sia-sia belaka tanpa kawula yang dengan sukarela melayani dan menjalankan perintahnya. Dia mulai menyadari tidak ada lagi yang meyakini jika raja adalah titisan dewa. Dalam pikirannya yang sempit, Adipati Tuban justru memilih menyalahkan orang lain, yaitu Galeng, yang dia anggap merebut kekuasaannya.



Cara orang Jawa gila kuasa seperti inilah yang dikritik Pram dari Arus Balik. Jawa selalu bergerak atas dasar keserakahan dan kegilaan untuk dipuja, bukan atas dasar cipta karya maupun cita-cita lebih mulia.



"Sama saja di mana-mana, ningrat Jawa sudah lapuk, hidup hanya di bawah bayang-bayang nenek moyang yang besar."



"Ningrat Jawa tak mengenal kesetiaan pada istri dan anak-anaknya, tapi istri dan anak-anaknya harus selalu setia mutlak padanya. Ningrat Jawa tak mengenal kesetiaan dan kecintaan pada apa dan siapa pun, juga tidak pada anak-anak sendiri. Mereka tak lain daripada merak jantan, kesibukannya hanya mengigau mengagumi mereka sendiri."



"Barang siapa tak kenal kesetiaan dan kecintaan, dikodratkan untuk menjadi budak dari kehawanafsuan, dari orang-orang yang lebih kuat daripada yang punya hawa nafsu lebih besar lagi. Begitu ningrat Jawa, begitu pula nasib Jawa."



Sementara itu, di bagian Jawa yang lain, Kerajaan Pajajaran justru rumit dengan konflik perbedaan agama yang dibesar-besarkan. Mereka lebih memilih menggandeng bangsa asing yang tak jelas datangnya dari mana untuk melumpuhkan hegemoni agama baru alih-alih menggandeng perbedaan keyakinan diri.



Konflik pandangan negatif terhadap Islam membuat pandangan negatif terhadap Demak juga tumbuh, membuat tidak ada yang menjawab ketika Sultan Trenggono memanggil untuk membangun armada gabungan.



"Pendapat umum di kalangan prajawan di Jawa adalah dengan armada gabungan yang akan dibentuk Demak akan dapat mengurangi penggunaan kekuatannya sendiri, memperbanyak kekuatan darat yang ditinggalkannya dan akan menerkam tetangga-tetangganya sendiri dari punggungg mereka. Khianat! Khianat! Bukan saja mereka tidak menggubrisnya, bahkan memperuncing kewaspadaannya."



Orang Jawa telah tumbuh dengan kecurigaan yang dilatarbelakangi nasib buruk mereka sendiri. Galeng sendiri yang selalu menasbihkan diri tak menginginkan kekuasaan juga memiliki bibit rakus dan mudah dilahap keserakahan selayaknya orang Jawa lainnya. Galeng menuduh Trenggono dan Demak tidak bisa dipercaya, tapi dia sendiri pernah mengkhianati Adipati Unus.



Galeng tidak sadar dia telah kehilangan akal dan keyakinan untuk cipta diri.



"Bagimu aku seorang kafir, dan aku senang dengan kekafiranku. Bagiku kata-kata hiburan hanya sekedar membasuh kaki, memang menyegarkan tapi tiada arti."



"Tidak. Aku hanya seorang anak desa bernama Galeng -- tahu takkan mampu membendung perkembangan kemerosotan ini. Pengalaman Malaka yang terakhir adalah bukti tak terbantahkan. Boleh jadi akulah saksi hidup bagaimana satu balatentara telah jadi rusak dan merosot karena kehilangan pegangan."



"Demikianlah cerita tentang seorang anak desa lain yang mengemban cita-cita menahan arus balik. Berbeda dari anak desa yang lain, yang seorang ini tidak berhasil, patah di tengah jalan, namun ia telah mencoba.”



Galeng tidak berhasil, tidak juga penerusnya maupun orang lain, karena mereka mengemban cita-cita masa lalu, bayang-bayang kejayaan masa lalu yang semangatnya tak lagi mereka miliki. Keyakinannya atas cipta itu sendiri semu, hanya berdasar rasa kolektif turun-temurun bahwa apa yang mereka inginkan adalah hal yang benar.

--

--

Maymunah Nasution
Maymunah Nasution

No responses yet