Better Medicine

Maymunah Nasution
3 min readSep 20, 2021

--

Sore itu di tepi gunung dengan senja berwarna jingga keemasan, berdiri di tepi jurang, Ami terpekur melihat pemandangan di bawahnya yang menunjukkan hutan belantara dengan pepohonan rimbun dan hanya terlihat ujung-ujung pohon tersebut. Di bawahnya lagi sawah berpetak-petak sudah menunjukkan tanda padi-padi yang ditanam di atas petakan itu siap dipanen. Angin sejuk membuat Ami kian senang.

Namun jika pada kondisi lebih baik dari yang ia rasakan sekarang, pasti ia akan lebih senang lagi.

Tidak jauh di samping kanannya, Andra masih memperbaiki motor tua yang mogok di tengah jalan setelah dipakainya membawa Ami menuju tepi pantai dari tempat mereka mendiami pondok di tengah gunung bersama teman-teman kampus mereka.

“Ami?”

“Iya?”

“Tolong ambilkan air dari tasku.”

Ami pun bergerak maju menuju tas punggung Andra yang ia letakkan di samping tas tangannya. Dengan cepat ia memberikan air mineral kepada lelaki tersebut. Diam-diam ia berdiri memperhatikan gerak gesit Andra memperbaiki motor tersebut. Punggungnya melawan matahari, pastinya rasanya begitu menyengat, pikir Ami. Namun, Andra tampak tidak peduli membuat kaos hitamnya basah sepunggung, sedangkan pelipisnya mulai basah karena titik-titik keringat yang mulai muncul.

Sedetik kemudian Ami berpikir menghapus keringat di pelipis orang yang diam-diam ia perhatikan itu. Namun, haruskah ia melakukannya?

Sayang, sebelum Ami bisa melakukan apapun, Andra menoleh kepadanya begitu tiba-tiba. “Kau memikirkanku?”

“Eeeh, tentu saja tidak!” ujar Ami malu, Andra tertawa. “Kurasa sudah bisa dinyalakan lagi. Ayo, akan kucoba dan kita sebaiknya segera berangkat lagi.”

“Oke, kuharap berhasil.”

“Aku juga berharap demikian,” ujar Andra. Ia pun menstarter motor tersebut dan ternyata motor itu memang kembali menyala. Ami kian senang dan segera mengambil tas Andra dan juga tas miliknya. Andra yang duduk di jok pengemudi mengambil tasnya dari tangan Ami, kemudian memasangkannya dengan melingkarkan lengan tas pada lengan tubuhnya bagian depan. Ami tertegun.

“Ini biar apa?”

“Mengapa harus tanya? Cepat naik,” jawab Andra cuek. Ami pun mulai naik ke jok penumpang. Baru ketika ia menyeimbangkan diri, Andra menarik kedua tangannya dengan cepat.

“Pegangan ya,” ujar Andra yang cukup lirih dibandingkan dengan suara motor. Namun Ami tak luput mendengarnya. Ami pun melingkarkan tangannya ke perut lelaki itu.

Tak berbicara apapun lagi, mereka berkendara menuju pondok mahasiswa tempat mereka menetap di gunung itu selama 3 bulan terakhir. Perjalanan yang memakan waktu satu jam itu akhirnya selesai, keduanya sampai di pondokan mahasiswa mereka. Ami langsung berjalan ke pondokan perempuan, tapi Andra mencegahnya.

“Mi, jangan masuk dulu.”

“Eh kenapa?”

Tiba-tiba Andra mendekat sampai mereka berdua hanya berjarak satu jari kelingking saja, Ami buru-buru mundur tapi Andra mencegahnya dengan memegangi pinggang gadis itu. “Jangan lupa mandi, trus keramas. Trus sholat ya.”

“Oke Andra, selamat malam. Kamu jangan lupa makan.”

“Oke..”

Bagi Ami, cinta bagaikan obat untuk keluar dari realita. Penyeimbang dari hidupnya yang tidak seimbang. Baginya kini, obatnya adalah Andra, seseorang yang menarik perhatiannya pertama kali mereka bertemu. Andra pun tertarik pada gadis itu bagaikan besi kepada magnet. Rasa suka perlahan berubah menjadi rasa nyaman untuk saling bercerita dan menghabiskan waktu.

Pondokan mahasiswa tempat mereka berlibur tiga bulan bersama mahasiswa lain itulah yang menjadi ruang mereka saling mengenal. Andra adalah sosok penyendiri, layaknya Ami, keduanya menyukai percakapan yang dimulai dari buku-buku fiksi, atau bagaimana indahnya lanskap hutan pinus yang mereka lihat dari kejauhan, atau sesederhana angin yang mereka rasakan sendirian di tepi pantai.

Mereka berlibur bersama mahasiswa lain dari kampus yang berbeda-beda dan jurusan yang berbeda dengan mereka. Agar liburan tidak terlalu membosankan, banyak dari mahasiswa yang berlibur di sana membantu masyarakat sekitar, mulai dari memetik kopi sampai ikut mencari kayu ke hutan, atau ikut menjajakan dagangan pertanian ke kota sembari mencari setitik rasa kehidupan di kota asing dari rumah mereka.

Namun bagi Andra, Ami jauh dari jangkauan. Ami bagaikan angin yang tidak bisa direngkuh, hanya bisa ia rasakan. Ami ingin sekali ia jadikan pendampingnya, sosok yang ia minta menemaninya di kala suka dan duka. Namun, semua tidak semudah itu.

Ketika hari Minggu tiba, sore hari ketika Andra mengajak Ami berkeliling desa lagi, Ami tiba-tiba berceletuk.

“Kamu juga akan mengunjungi gereja untuk Misa, kan? Aku akan menunggumu,” ujar Ami sambil merapikan jilbabnya.

Originally published at http://potentiahappy.wordpress.com on September 20, 2021.

--

--

Maymunah Nasution
Maymunah Nasution

No responses yet