Menerka Jodoh Lewat Membaca Jogja
Jogja terasa berbeda dengan orang yang berbeda. Jogja tidak pernah sama, setidaknya itu yang aku rasakan selama mengunjungi Jogja. Aku pernah merasa sakit hati di Jogja bersama orang yang memang berniat menyakitiku, tetapi aku juga menemukan cinta ketika berwisata ke sana.
Dalam lima tahun terakhir, ada beberapa pertemuan signifikan yang kulakukan di Jogja. Pertemuan itu kuanggap signifikan karena pada beberapa titik dalam hidupku, sebagian orang yang kutemui di sana kuanggap bisa menjadi masa depanku.
Bermula pada 2019. Aku bertemu pria ini sebelumnya di Jepang dan saat kami berdua di Indonesia, aku memintanya agar menemuiku. Kala itu, dia sudah tidak tertarik lagi kepadaku, sehingga aku takut kehilangan dirinya. Aku membawakan speaker JBL untuknya karena dia menginginkannya, tentu saja aku memintanya membayar itu. Pertemuan saat itu terasa aneh, karena dia yang datang dari Cirebon hanya memilih berjalan-jalan sepanjang Malioboro dan tidak mengajakku berbicara. Setelah itu aku mengajaknya menikmati es krim di Tempo Gelato, tetapi dia tidak banyak mengajakku berinteraksi.
Meski begitu, pertemuan itu terasa buruk saat aku mengulang kembali satu-satunya pembicaraan kami hari itu.
“Aku menginap di hotel, sendirian,” ujarnya kepadaku saat kami tengah makan siang. Pertama kali mendengarnya, aku merasa tidak nyaman dan takut. Kini setiap kali mengingatnya, aku merinding.
Berikutnya aku berkenalan dengan seseorang yang bekerja di Jogja. Aku ingin berkenalan dengannya karena aku ingin menyudahi hubunganku yang tidak jelas dengan pria lain (yang akan kuceritakan juga setelah ini). Saat itu sudah 2022, dan kuanggap dia memiliki banyak kemiripan denganku karena sama-sama menyukai buku dan media populer lainnya.
Pertemuan awal tahun itu cukup membekas. Dia membawaku ke berbagai toko buku independen dan menjadi sosok provider yang membayar semua biaya makan, parkir, bahkan bensin. Aku merasa senang dengan pertemuan itu dan berpikir dia merasakan hal yang sama. Selanjutnya kami masih berhubungan secara virtual, tetapi dengan cepat hubungan memburuk.
Sejak dia mengatakan akan kembali ke kampung halamannya di Pulau Borneo, aku berpikir aku memiliki perasaan lebih terhadapnya. Aku memberanikan diri mengatakan itu kepadanya, dan hasilnya tidak sesuai harapanku. Lebih buruk lagi, dia membicarakanku lewat media sosialnya dan saat aku mengkonfrontasinya, dia berpikir aku hanya berasumsi saja. Aku tidak tahan berteman dengan cara itu dan akhirnya aku memilih memutuskan komunikasiku dengannya. Sejak saat itu aku tidak berhubungan dengannya lagi.
Selanjutnya, aku kembali ke Jogja untuk bertemu orang lain. Inilah sosok yang kumaksud untuk kuhindari. Dia adalah mahasiswa di Jogja dan aku berkenalan dengannya lewat dating app pada tahun 2021, tetapi baru menemuinya pada pertengahan 2022. Pertemuan dengannya cukup menyenangkan karena dia membawaku ke Museum milik Keraton Jogjakarta. Namun selanjutnya dia tidak memiliki inisiatif memilih tempat.
Saat itu dia tidak lebih dari driver, karena aku yang mengarahkan tempat yang ingin kudatangi dan dia tidak membuka banyak pembicaraan. Walaupun memang akhirnya kami melihat pameran seni yang membuat kami sama-sama tertarik, tetapi perjalanan itu bagaikan kondisi hubungan kami: hanya berjalan tanpa rencana, tanpa arah, dan tanpa antusiasme darinya. Namun, aku sendiri juga masih enggan pergi saat itu.
Meski begitu, aku memutuskan pergi akhir tahun 2022. Saat itu aku berpikir panjang dan melihat jika hubungan tersebut tidak memiliki rencana yang jelas, bahkan aku tidak tahu apakah dia memiliki perasaan yang jelas terhadapku.
Akhirnya, aku ke Jogja pada pertengahan 2023, bersama kekasihku. Aku justru berkenalan dengannya di Solo, kota tempatku mencari penghasilan sehari-hari. Dia sendiri sudah lama tinggal di Jogja selama kuliah, dan beberapa kali kembali ke sana untuk pekerjaannya. Pada hari itu, dia mengajakku ke Jogja untuk menikmati liburan sekaligus bekerja.
Ada perbedaan sangat signifikan dari Jogja yang kualami bersama kekasihku dengan saat bersama yang lain. Kekasihku mengajakku pergi ke sana dengan motor pribadinya sejak pagi, karena dia ingin membawaku ke pantai. Selepas kami ke pantai, dia mengajakku melihat Tamansari, tempat pemandian para selir Raja-Raja Mataram.
Tempat itu begitu indah, terlebih kekasihku memahami sejarah cukup detail dan dia terbuka membahasnya dengan tour guide di sana. Aku benar-benar merasa dimanjakan olehnya. Setelah itu, kami melewati lokasi lama tempatnya tinggal semasa di Jogja, barulah sorenya dia harus bekerja dan dia membawaku ke toko buku.
Malam harinya, dia menjemputku untuk kembali ke Solo. Saat kami sudah kembali, dia mengatakan suatu saat akan membawaku menikmati Jogja di malam hari. Aku begitu senang. Rasanya, Jogja memang indah setelah aku menikmatinya bersamanya. Aku tidak lagi melihat Jogja seperti rasa yang ditinggalkan tiga lelaki lainnya.
Aku merasa, Jogja bagaikan bola ramal yang bisa kuterka untuk melihat masa depanku. Bersama yang lain, aku kesulitan menentukan langkah saat di kota itu. Namun, bersama kekasihku, langkahku ringan dan kami tidak sulit mencari arah bersama, sembari saling bercerita dan tertawa.