Takdir dalam Elegi, Melokalkan Pastoral Secuil Sejarah Negeri
Hai, kali ini saya akan mereview sebuah produk kearifan lokal berbentuk drama wayang sinema. Tidak seperti biasanya ketika saya senang menggarap film ataupun drama luar, suguhan karya anak negeri kali ini menurut saya menarik untuk dibuat review. Sekilas memang produksi kecil-kecilan ini tampak sederhana, tapi ternyata banyak nilai yang bisa diambil.
Drama wayang ini berjudul Anggraini Candrakirana, karya Gepeng Nugroho digarap bersama Padepokan Seni Gubug Kebon Magelang dengan dukungan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BNPB) D.I.Yogyakarta.
Cerita ini adalah tentang dua kerajaan hasil pecahan dari Kerajaan atau Keraton Kahuripan, Kerajaan Jenggala dan Kediri. Prabu Airlangga sebagai pemimpin Keraton Kahuripan memecah Keraton Kahuripan menjadi dua wilayah, yaitu Jenggala dan Kediri. Kini para pemimpin dua Keraton yang seharusnya bersatu itu ingin mempersatukan wilayah lagi agar Kahuripan kembali berjaya. Kedua rajanya, Raja Jayengrana dari Jenggala dan Raja Jayawangsa dari Kediri sepakat untuk menjodohkan putra putri mereka, Raden Panji Kertapati dengan Galuh Candrakirana.
Namun, Raden Panji ternyata memiliki pemikiran lain tentang calon pendampingnya, ia terpikat pada pandangan pertama pada seorang wanita, Dewi Anggraeni. Dewi Anggraeni adalah seorang wanita dari kalangan rakyat jelata.
Drama ini ditayangkan secara langsung di kanal YouTube Gepeng Nugroho pada hari Sabtu 4 September 2021, durasi drama wayang sepanjang 1 jam lebih 6 menit. Drama wayang ini menyajikan lagu, tarian baik tari tradisional maupun kreasi, serta permainan peran para pemerannya.
Adegan dibuka dengan kehidupan sehari-hari Raden Panji dengan Dewi Anggraeni yang sudah menjadi istrinya. Mereka hidup dengan bahagia dan Raden Panji memuji kecantikan Dewi Anggraeni yang ia sebutkan ‘mengalahkan kecantikan purnama’ dalam nyanyiannya untuk sang istri yaitu:
Lihatlah purnama, melukis pada peraduan malam
Jangan sia-siakan, dengan segera mata terpejam
Sebab cinta bukan direngkuh dengan sekedar angan dan impian
Namun perjuangan nyata berbekal pengorbanan
Ha…ha…ha…ha
Garis tangan bukanlah jalan tanpa rintangan
Di sudut asmara ada tergambar harapan
Takdir pertemukan kita, pada tatapan pertama
Penuh makna, lalu hidup berpermadani cinta
Nyanyian tersebut bermakna ia mengharapkan kehidupan bahagia bersama istrinya kelak, yang telah membuatnya begitu bahagia karena membawa perdamaian di seluruh Keraton Jenggala. Sedang Anggraeni berpedoman nilai-nilai leluhur Jawa dan kepercayaan Hindu, yakin ia harus mengabdi sepenuhnya kepada suaminya. Baginya, Raden Panji adalah lelaki yang membahagiakannya dan memberikan jaminan surga kepadanya. Ia juga yakin Raden Panji akan selalu kembali kepadanya dengan penuh kerinduan.
Namun Dewi Anggraeni takut karena ada kecemasan yang menyelimutinya. Ia memiliki prasangka buruk dan agar prasangka itu hilang ia memilih untuk terjaga sampai pagi. Walaupun suaminya sudah menanyakan apa yang membuatnya gelisah, ia tetap ingin menyimpannya sendiri dan ingin tetap tersenyum di depan suaminya.
Selanjutnya babak kedua menampilkan Raja Jayengrana yang panik dengan pilihan anaknya. Padahal ia sudah berjanji akan menikahkan anaknya dengan Galuh Candrakirana, putri mahkota Kediri. Ia menganggap tindakan Raden Panji sangat egois dan tidak menunjukkan kepeduliannya kepada Jenggala. Selain itu ia takut Raja Jayawangsa akan menganggapnya berkhianat dan mengingkari ikrar suci untuk menyatukan dua negara yang sudah disusun sekian lama.
Raja Jayengrana memiliki dua ajudan, salah seorang ajudannya menyarankan untuk mengatakan sejujurnya apa yang terjadi dan berharap Raja Jayawangsa akan menerimanya. Namun Raja Jayengrana tak yakin hal itu terjadi, dan ia juga tidak yakin harga dirinya bisa diselamatkan. Ia juga kembali menyalahkan Raden Panji, yang sudah sedari awal disiapkan untuk menjadi Putra Mahkota, tapi malah menurutnya bertindak sewenang-wenang. Ada yang membisikinya untuk melakukan pengorbanan, tapi ia tidak ingin mengotori tangannya sendiri, tapi jika tidak ia lakukan ketakutan terbesarnya adalah perang saudara.
Akhirnya, berbekal harapan kosong, Raja Jayengrana mengirimkan dua ajudannya kepada Raja Jayawangsa menyampaikan kabar yang ada sembari berharap kepada Dewata agar Jenggala dan Kediri tetap berdiri.
Harapannya pupus ketika Raja Jayawangsa yang hadir di babak ketiga menyampaikan kemarahannya, ia menyatakan kejayaan membutuhkan pengorbanan dan menurutnya Jenggala telah ingkar sehingga patut menyebut mereka melakukan kejahatan, karena menurutnya kesepakatan itu tidak hanya mengikat dua keluarga tapi juga dua negara. Bagi Raja Jayawangsa, jika sumpah yang dibangun untuk kejayaan bersama saja diingkari, apa yang bisa diharapkan dari Jenggala?
Raja Jayawangsa juga berang karena Raden Panji tidak memikirkan perasaan putrinya, Galuh Candrakirana, yang bisa saja mendapatkan lelaki lebih baik dari Raden Panji tapi terlanjur berharap pada orang yang telah terpikat wanita lain. Jika Galuh sakit, Jayawangsa akan lebih sakit lagi dan akan terbakar angkara.
Akhirnya, ia memberi kesempatan kedua bagi Raja Jayengrana untuk memperbaiki keadaan, baik itu dengan pengorbanan apapun, dan tetap ingin pernikahan Raden Panji dengan Galuh Candrakirana terlaksana. Tidak ia ketahui, Galuh ternyata mengetahui pembicaraan tersebut.
Drama segera beralih ke babak keempat, menampilkan Galuh Candrakirana yang bermuram durja memikirkan Raden Panji yang malah bersama wanita lain. Wanita yang bahkan tidak sebanding dengannya! Kesedihannya berlarut-larut, ia pun menuangkannya lewat nyanyian rindunya untuk Raden Panji.
Siapa yang kuharap dari wewangian ini
Siapa lagi kalau bukan engkau
Senyumnya semanis madu
Hai pria tampan
Cinta yang mengalir seperti air berubah menjadi api
Setelah kau meragukan rasa ini
Indah rambutmu yang terurai selalu tiba di dalam mimpiku setiap malam
Malamku sepi bagai pemakaman
Karena cahaya telah terbawa matahari
Gelap tanpa bulan tanpa bintang
Seperti berlari di angan-angan menggapai bintang
Bersanding dan bercinta hanya menjadi lamunan
Lewat lagu ini semoga kau bisa mengerti
Di dalam hatiku yang paling dalam, aku masih memegang janji
Meskipun tidak saling memiliki
Cinta ini kujaga dengan suci dan nyata
Oh angin sampaikanlah
Sebenarnya aku masih menyayanginya
Kesedihannya begitu kentara, sampai akhirnya datanglah Dimas Gunung Sari yang menghiburnya agar tidak bersedih, karena kemuramannya membawa kemuraman bagi seluruh Kediri. Pria itu bersikeras akan membujuk Raja Jayawangsa menghentikan penghinaan bagi Kediri ini dan mengubah takdir bagi Galuh Candrakirana. Namun Galuh menolak, menurutnya, mungkin sudah takdir cintanya tidak akan tersampaikan dan kini ia harus menanggung luka karena mencintai tanpa dicintai, dan jika ia dan Raden Panji memang bisa bersatu, maka mereka pasti bisa dipersatukan, tanpa harus mengubah takdir. Sia-sia Kediri bertindak berdasarkan angkara dan murka, karena keduanya hanya akan mengorbankan rakyat dan justru menimbulkan pertumpahan darah.
Kesedihannya kembali ia sampaikan lewat elegi.
Biarkan kupikul sendiri rasa kecewa dan patah hati
Anggap saja sebagai pengorbanan cinta sejati
Yang telah lari bersama-sama jiwa yang mati
Aku percaya esok pagi masih ada janji mentari
Yang hangat melunasi beku hati yang tak terbeli
Sampai pada waktunya nanti kembali bersemi
Aku wanita yang memegang setia
Yang tak lemah oleh segala coba
Mencoba seperti karang pada hamparan ombak samudra
Bila ini adalah sebuah ujian
Maka kau akan temukan aku di balik reruntuhan
Kesetiaan telah membuatku tegar
Sampai batas akhir kehidupan
Adegan berganti, lantunan musik gamelan tradisional diiringi dengan saksofon mengiringi tarian yang menyajikan kehidupan Dewi Anggraeni sehari-hari, tidak disadarinya, sepasang mata mengawasinya, ialah Raja Jayengrana yang terus mengawasi gerak-gerik menantu yang tidak ia akui itu. Raja Jayengrana tidak sendirian, ia ditemani oleh pamannya, kakak dari Prabu Airlangga, yang diceritakan sudah menjadi pengembara dan tampil layaknya filsuf. Rupanya, Jayengrana menyampaikan niatnya untuk ‘melakukan pengorbanan’, dibandingkan dengan perang saudara yang bisa merenggut nyawa rakyat Jenggala dan Kediri, menghunus keris untuk menumbalkan Anggraeni ia anggap akan menyelesaikan masalah dengan damai. Tentu saja pamannya menolak niat tersebut, baginya hal itu akan menghancurkan hati Raden Panji, padahal ia akan menjadi pemimpin selanjutnya. Jayengrana beranggapan Panji harus menjadi pria seutuhnya, menerima kehilangan dengan tegar dan bersifat pragmatis yaitu menerima wanita lain untuk membangun kehidupan baru, serta membuang perasaan yang sudah usang jika Anggraeni sudah tak ada lagi di dunia. Ia juga menganggap pamandanya lemah karena seharusnya pamandanya bisa menjadi penerus tahta Keraton Kahuripan, tapi malah justru memilih hidup sederhana dan mengembara, berbaur dengan rakyat. Jayengrana tidak bisa membiarkan Raden Panji membuang kehidupannya lagi, karena ia satu-satunya Putra Mahkota Jenggala.
Mencegah hal buruk terjadi, Pamanda pergi menemui Raden Panji dan menyuruhnya memperistri dua wanita, Galuh Candrakirana dan Dewi Anggraeni. Raden Panji tak sanggup menyakiti Anggraeni begitu saja. Namun Jayengrana datang dan bersikeras pernikahan Panji dengan Galuh harus dilakukan, dan Galuh yang akan menjadi permaisuri. Raden Panji masih menolak pilihan yang tersedia, membuat Jayengrana murka. Panji lantas menyesali nasibnya, mengapa ia tidak bisa hidup sesuai keinginannya, ia tidak peduli menjadi rakyat jelata asalkan bisa menikahi siapapun yang ia sayangi. Lantas, Panji pun menyalahkan Airlangga yang sampai hati membagi Kahuripan dan Jenggala.
Diam-diam saat mereka bertengkar, salah seorang ajudan Jayengrana malah menghunus keris. Adegannya disampaikan lewat monolog sederhana yang menyampaikan bahwa ia akan melaksanakan sabda Raja sebagai bentuk pengabdian dan pengorbanan bagi Jenggala. Lantas ia mendatangi Dewi Anggraeni, yang merasakan mimpi buruknya menjadi kenyataan. Ternyata dalam mimpi buruknya memang ia dibunuh oleh ajudan Jayengrana. Ajudan itu pun meminta maaf kepada Anggraeni.
“Maafkan saya, Anggraeni, harus melupakan kemanusiaan ini, selain untuk kesetiaan kepada Raja tapi juga agar tercipta perdamaian negara. 1 nyawa lebih baik dikorbankan daripada persatuan 2 negara. Saya akan bersaksi pengorbanan Anggraeni besar untuk cinta Raden Panji dan untuk negara.”
Anggraeni pun tewas, Raden Panji menyesal terlambat menyelamatkan cintanya. Ia pun mengembara tak tentu arah dan tujuan sampai ia lupa sudah berapa lama ia mengembara. Namun, takdir tak membiarkannya sedih berlarut-larut, karena pada akhirnya ia memang bertemu dengan Galuh Candrakirana. Sekejap saja, perasaan cinta kepada Dewi Anggraeni tergantikan dengan cinta yang baru untuk Galuh Candrakirana.
Raden Panji untuk Galuh Candrakirana
Betapa indah rembulan
Luntur ketika hadir senyum bibirmu
Seribu bunga di taman, subur indah terlihat
Nampak lunglai layu kalah ayu dengan dirimu
Galuh Candrakirana untuk Raden Panji
Wajahmu bersinar cerah
Aku mencoba melupakannya namun tak dapat melupakannya
Di dalam hatiku menganggap apakah aku khilaf?
Karena aku mencintaimu wahai kekasihku
Hancur lebur terlunta-lunta
Teringat ketika tidak dapat bersanding
Terlepasnya panah asmara menjadi percuma
Luntur ketika bersanding dengan cinta yang lain
Karena sudah ada yang duduk di hatimu
Drama wayang diakhiri dengan mahligai rumah tangga Raden Panji dan Galuh Candrakirana yang bahagia dilingkupi dengan kerajaan Kahuripan yang kemudian bersatu.
Drayang (Drama wayang) sudah bukan hal baru dalam dunia opera, wayang yang terkesan kuno dan ketinggalan zaman mulai menyusup masuk ke dunia milenial untuk bisa terus terlestarikan. Ulasan cerdas dari Abdillah M Marzuqi yang ditayangkan di Media Indonesia menjelaskan, drayang membawa nilai-nilai modern berdampingan dengan nilai tradisi yang menjadikan sajian ini unik, mewah dan elegan.
Cerita cinta dan sejarah memang penyajian yang tidak bisa ditolak, saat ini banyak yang bosan dengan keduanya, padahal di balik sejarah dan kisah cinta banyak ditemukan hal-hal yang tidak dipikirkan sebelumnya. Wayang biasanya tak lepas dari cerita sejarah makanya dianggap membosankan, tapi sedikit bumbu kisah cinta di dalam sejarah menjadi kisah tragis atau justru mengharukan yang bisa membuat makna sejarah lebih meresap di sanubari.
Beberapa hal yang menarik dari drayang ini adalah banyak adegan yang diceritakan simbolis dengan gerakan tari, menjadi nilai lebih penyajian seni tari yang tidak harus menampilkan semua hal secara eksplisit. Serta ada tari kreasi dengan kostum yang lebih modern yang menjadi simbol angkara atau kemarahan dari Raja Jayengrana. Sementara itu untuk menilai plot cerita, kesederhanaan cerita ini sudah menjadi plot twist tersendiri. Dari awal disebutkan jika Dewi Anggraeni sebaiknya dikorbankan dengan dibunuh, agar Raden Panji dan Galuh Candrakirana bisa bersatu. Ternyata memang hal itu yang kemudian terjadi, seorang rakyat jelata ditumbalkan begitu saja untuk membangun kejayaan negara. Penyelesaian yang tidak terkirakan memang akan dipilih.
Dua wanita pilihan Raden Panji menjadi unsur penting drayang ini, bagaimana tidak, nama keduanya saja menjadi judul pementasan, sehingga rasanya tidak lengkap jika tidak membandingkan semangat keduanya dalam mencintai Raden Panji sepenuh hati. Dewi Anggraeni bagaikan seseorang yang begitu beruntung, dicintai putra mahkota kerajaannya, mendapat kehidupan rumah tangga dan bahagia, tapi tanpa sadar ia malah hidup dalam ketakutan akibat mimpi buruk yang menghantuinya. Ia tidak bisa terbuka kepada suaminya, tapi ia bahkan tidak bisa tidur di malam hari. Sebaliknya, Galuh Candrakirana begitu tenang meskipun ia diliputi kesedihan dan kesepian ditinggalkan sosok yang telah ia cintai tanpa harus menghabiskan waktu bersama. Ia percaya takdir akan menuntunnya menguraikan perasaan tak tentu yang ia rasakan akibat Raden Panji. Hal ini menjelaskan bahwa sesungguhnya jika seorang manusia mencintai orang yang salah akan ada hal yang mengganjalnya, kehidupan rumah tangganya hanya bahagia sesaat, selanjutnya yang dirasakan hanyalah prasangka dan ketakutan. Namun jika manusia memasrahkan semuanya kepada Sang Pengatur Kehidupan, apa yang memang rezeki dan jodoh bagi manusia tersebut akan menjadi miliknya. Hanya saja, seharusnya nyawa Anggraeni tak perlu dikorbankan sebegitu rupa. Pengorbanan itu sendiri layaknya simbolis nilai-nilai patriarki di Jawa yang menunjukkan ketegasan, ketergesaan dan kurangnya empati. Seperti yang disampaikan oleh Jayengrana, Raden Panji harus bisa melupakan perasaan yang ikut mati ketika Anggraeni tewas.
Andaikan saja perasaan manusia bisa hidup dan mati semudah itu…
Penampilan para aktor dan aktris yang berperan dalam cerita ini juga menarik. Untuk sekelas pementasan sederhana permainan peran mereka sudah cukup mengesankan, diiringi dengan tarian memikat para pemainnya. Tari yang paling mengesankan menurut saya adalah tarian pria tunggal yang disajikan ajudan Raja Jayengrana sebelum mengakhiri hidup Dewi Anggraeni. Tarian tunggal membutuhkan gerakan tubuh yang tegas dan tidak bertele-tele, dan hal itu sudah disampaikan dengan baik.
Anda dapat menyaksikan pementasan tersebut di sini: