Thrifting: Bahaya Laten Produk Buangan Industri Fast Fashion

Maymunah Nasution
8 min readDec 1, 2022
Photo by freestocks on Unsplash

Masyarakat Indonesia tengah menggemari penjualan pakaian sistem thrift atau pakaian bekas bermerek. Pasar ini kian menjanjikan sampai penjualannya laku keras baik secara luring maupun daring. Dapat kita lihat di semua platform toko online kini penjualan baju-baju bekas dengan harga murah mulai dari belasan sampai puluhan ribu rupiah. Mengejutkannya lagi, ada yang menjual baju bekas per bal.

Kualitas baju bekas ini cukup kompetitif, karena disinyalir baju-baju bekas yang dijual lewat thrifting adalah baju merek toko-toko besar dunia yang harus ‘mundur’ dari pajangan setelah tren musim baju tersebut selesai. Pakaian tersebut terhitung baru karena bahkan mungkin belum pernah dipakai orang lain bahkan dengan model yang masih kekinian, tapi sudah dianggap ‘ketinggalan zaman’ oleh merek yang membuatnya.

Inilah sebabnya tren thrifting kian meningkat di Indonesia, terutama untuk baju yang berasal dari luar negeri.

Di Indonesia, mengacu pada hasil survei Goodstats mengenai preferensi gaya fesyen anak muda Indonesia yang dilaksanakan pada 5–16 Agustus 2022 dengan melibatkan 261 responden, mayoritas responden atau sekitar 49,4% mengaku pernah membeli fesyen bekas dari hasil thrifting.

Sisanya, sekitar 34,5% mengaku belum pernah mencoba thrifting dan sebanyak 16,1% memilih untuk tidak akan pernah mencoba membeli barang hasil thrifting.

Tapi sadarkah Anda bahwa tren thrifting hanyalah akal-akalan perusahaan fast fashion untuk dengan cepat membuang produk mereka yang sudah tidak terhitung dalam penjualan pakaian mereka di musim berikutnya?

Hah? Kok bisa? Bukankah membeli produk bekas bisa memperpanjang masa pakai pakaian, sehingga sampah pakaian berkurang dan kita bebas dari rasa bersalah karena membeli terlalu banyak baju?

Sayangnya, tren ini justru menjadi jebakan bagi umat manusia untuk berperilaku lebih konsumtif dan mencemari lingkungan lebih sering lagi. Salah satu logikanya adalah jika Anda terbiasa belanja baju dengan anggaran Rp 500.000,00 sebulan, untuk pakaian baru mungkin Anda hanya bisa membeli satu atau dua pakaian saja, tapi dengan thrifting, mungkin dengan anggaran tersebut Anda malah sudah membeli lebih dari sepuluh pakaian. Secara psikologis, pelanggan tidak akan hanya cukup membeli dua pakaian jika dia tahu harga pakaian di thrifting murah-murah dan modelnya masih layak dipakai.

Inilah sebabnya thrifting adalah jebakan etika ramah lingkungan yang merupakan ‘akibat sampingan’ dari fast fashion. Selama lebih dari 50 tahun terakhir, industri fashion telah berubah sangat drastis. Dahulu, orang-orang hanya akan membeli baju ketika ukuran tubuh mereka berubah, atau ada perubahan karir yang drastis, atau pindah negara dengan kondisi iklim yang berbeda. Namun, sejak fast fashion lahir di tahun 1980-an atau lima tahun sebelumnya, belanja baju menjadi sebuah tren. Pakaian bukan lagi perihal kita membutuhkan kain untuk menutupi tubuh, tapi menjadi sebuah hiburan. Alih-alih Anda membeli pakaian berkualitas bagus seharga Rp 150.000,00 yang bertahan selama 2 tahun atau lebih, Anda akan memilih membeli sejumlah pakaian masing-masing seharga Rp 50.000,00 yang mungkin hanya bertahan tiga bulan saja. Uang yang dikeluarkan mungkin sama, tapi jumlah pakaian yang Anda beli lebih banyak dan jangka waktunya lebih singkat, kita pun terjebak dalam perilaku konsumtif.

Inilah dampak dari fast fashion: ketika pakaian tidak lagi mahal, Anda tidak akan menganggapnya berharga dan orang-orang akan lebih mudah membuang baju ketimbang memakainya dalam waktu cukup lama. Tahun 2018, dunia memproduksi lebih dari 17 juta ton tekstil, menurut Environmental Protection Agency, dibandingkan dengan sekitar 2 juta ton tekstil sekitar 50 tahun yang lalu. Dari jumlah yang besar itu, 11.3 juta ton tekstil terbuang sia-sia dan menjadi sampah. Bahkan sebelum pakaian-pakaian itu mencapai rak pajangan, 35% dari bahan yang dipakai guna membuat pakaian-pakaian itu (bisa dari kain ataupun limbah tekstil) sudah menjadi sampah, melansir artikel dari popsci.com.

Lynda Grose, pakar fashion ramah lingkungan dari California College of the Arts, menjelaskan “menjaga pakaian kita terbuat dari bahan-bahan alami dan lebih lama masa pakainya adalah hal terbaik yang bisa kita perbuat.” Sayangnya, perusahaan-perusahaan pencetus fast fashion itu menggunakan kampanye ini hanya untuk menjual lebih banyak produk mereka.

Akan saya jelaskan dengan kalimat yang sederhana. Salah seorang YouTuber sekaligus desainer fashion terkemuka asal Perancis, Justine Leconte, pernah membahas dalam salah satu video YouTube yang diunggahnya pada 22 April 2021 lalu berjudul “These Fast Fashion Brands Are Greenwashing | H&M and Primark vs. Fashion Revolution Week” mengenai greenwashing yang dilakukan sejumlah perusahaan fashion terkemuka di dunia, salah satunya lewat thrifting. Greenwashing adalah istilah dalam marketing atau pemasaran yang dilakukan perusahaan untuk ‘tampak’ lebih memperhatikan lingkungan dan lebih peduli dengan alam padahal sebenarnya mereka tidak peduli sama sekali.

Industri fashion adalah salah satu industri terbesar penyumbang emisi karbon dan sampah lingkungan, banyak dari pakaian yang sehari-harinya kita pakai sulit untuk diuraikan dan menumpuk menjadi sampah. Karena isu pencemaran lingkungan inilah, industri fashion dituntut untuk lebih ramah lingkungan, sampai akhirnya mereka berlomba-lomba untuk “tampak” ramah lingkungan agar masyarakat yang menginginkan produk fashion ramah lingkungan tetap membeli produk mereka. Melansir earth.org, inilah dua dari perusahaan fashion yang sudah blak-blakan dituduh masyarakat melakukan greenwashing, antara lain:

1. H&M

H&M adalah perusahaan fashion terbesar kedua di dunia dan tercatat perusahaan ini menyumbang jumlah luar biasa besar untuk sampah tekstil dan sampah pakaian setiap tahunnya. Lewat lebih dari 5.000 toko yang tersebar di seluruh dunia, H&M adalah salah satu perusahaan fast fashion yang menerapkan perubahan musim baju yang cepat yaitu kurang lebih dua minggu untuk satu koleksi baju dipajang di semua toko mereka. Artinya setelah waktu dua minggu tersebut semua koleksi pakaian mereka ditarik dan diganti oleh koleksi pakaian yang baru.

Lantas, ke manakah koleksi pakaian yang sudah ditarik tersebut?

Anda benar, baju-baju tersebut ‘dibuang’ ke negara-negara berkembang penerima baju thrift, salah satunya Indonesia. Kemudian setelah dua minggu selanjutnya mereka membuang lagi koleksi baju sebelumnya, dan hal tersebut terus-terusan berulang sehingga jika satu koleksi pakaian membutuhkan waktu dijual selama 2 minggu saja, total perusahaan membuang pakaian ‘bekas’ koleksi tersebut adalah 26 kali dalam setahun. Bayangkan berapa banyak limbah, sampah, dan barang-barang lain yang terbuang dalam proses produksi koleksi dua mingguan tersebut. Tentu saja, sampah terbesar adalah sisa koleksi pakaian yang tidak terjual dan berakhir menjadi produk thrifting di negara kita.

H&M memang sudah membuat sejumlah upaya untuk menerapkan lebih banyak praktik etika lingkungan, mulai dari program recycling atau daur ulang di dalam toko-toko mereka, sampai meluncurkan koleksi “Conscious” di tahun 2011 di mana barang-barang yang dijual dibuat dengan setidaknya “50% bahan ramah lingkungan”. H&M juga secara publik menerapkan tujuan hanya menggunakan bahan ramah lingkungan dan bahan daur ulang di tahun 2030 mendatang. Kampanye-kampanye ini berhasil membuat mereka tampak lebih ramah lingkungan di masyarakat.

Namun tujuan H&M sesungguhnya bukanlah ingin menjadikan dunia lebih hijau dan mengurangi pencemaran lingkungan. Perlu kita ingat, perusahaan yang berasal dari Swedia tersebut tetap menginginkan lebih banyak produknya yang terjual, sehingga lewat kampanye ramah lingkungan mereka yang lebih ‘hijau’ yaitu thrifting di negara-negara berkembang, konsumen justru terperdaya untuk membeli lebih banyak baju daripada biasanya. H&M juga masih dituntut atas emisi karbon mereka yang mencapai angka lebih tinggi daripada biasanya, karena pengiriman sisa koleksi dua mingguan ke negara berkembang tersebut juga mengeluarkan emisi karbon.

2. Zara

Merek yang populer tapi sayangnya masih menerapkan greenwashing salah satunya adalah Zara, yang bisa disebut pencetus fast fashion pertama kali di dunia. Perusahaan yang didirikan tahun 1975 ini berhasil mengubah garmen dari berupa rancangan dasar sampai ludes di toko hanya dalam waktu 15 hari saja. Kini, Zara menjadi salah satu merek fashion terbesar di dunia, dengan setiap harinya mengeluarkan 12.000 desain baru dan memproduksi lebih dari 450 juta produk pakaian.

Setiap harinya.

Mirip dengan H&M, raksasa fashion ini juga membuat upaya besar mendorong citra ramah lingkungan mereka dengan meluncurkan koleksi ‘Join Life’ hampir 20 tahun yang lalu. Mereka juga berupaya “bergerak menuju model ekonomi sirkular untuk memperpanjang masa pakai produk.” Zara merencanakan berganti seluruhnya (100%) ke energi terbarukan untuk menjalankan operasional internal mereka di tahun 2030 mendatang. Perusahaan ini juga sudah mengumumkan untuk menggunakan hanya bahan polyester dan katun yang dikenal ramah lingkungan dan dapat didaur ulang, serta memotong rantai emisi mereka di tahun 2040.

Namun tujuan ini masih tampak sulit dicapai karena mereka masih saja menerapkan model fast fashion yang dalam setiap langkahnya meninggalkan ‘jejak karbon’ yang menambah emisi Zara. Banyak pihak sudah mengkritik Zara karena tidak menyediakan daftar pabrik yang jelas dan menyembunyikan dari publik hasil audit perusahaan mereka. Hal ini membuat publik sulit percaya bagaimana mereka telah benar-benar ramah lingkungan.

Dilema etika ramah lingkungan

Etika ramah lingkungan memang sudah lama terkenal dilematis. Bayangkan, membeli pakaian saja rasanya salah! Tapi bukankah kita perlu mengganti pakaian kita yang memang benar-benar usang? Dan konsumsi kita pun memutar roda ekonomi di masyarakat, bukan? Untuk itu, mungkin kita semua (termasuk saya) perlu menerapkan beberapa prinsip penting dalam perilaku konsumtif sehari-hari, kali ini terkhusus untuk fashion.

Akar dari dilema ini tidak hanya menilai apa yang kita pakai sehari-hari, tapi juga jumlah yang berlebih dalam pemakaiannya. Pecinta fashion mungkin berpikir membeli produk thrifting bisa mencegah kerusakan lingkungan, sayangnya, tidak. “Tren thrifting tidak mengubah ketergantungan kita untuk berbelanja atau ide bahwa kita bisa memiliki pakaian baru kapanpun kita mau,” ujar Anna Fitzpatrick, koordinator London College of Fashion’s Centre for Sustainable Fashion. “Tren ini hanya menjadikan belanja melebihi batas bisa lebih mudah kita lakukan.”

Thrifting juga menjadi masalah baru ketika beberapa toko menerima pakaian sumbangan yang sudah tidak kita pakai. Fitzpatrick mengatakan: Kita bisa mengganti seluruh isi lemari kita dengan membuang yang tidak kita mau di toko yang menerima pakaian bekas kita, dengan harapan bahwa pakaian itu masih bisa dipakai orang lain. Alih-alih kita mengurangi jumlah pakaian yang kita beli, kita menipu diri kita sendiri berpikir jika kita bisa membuang kelebihan belanja dengan mendonasikan baju, lagi dan lagi.

Kesalahan lain dari daur ulang tekstil adalah proses ini memakan energi yang banyak, mulai dari pengiriman baju yang dibuang dari toko-toko H&M dan Zara menuju Indonesia, Pakistan, atau negara dunia ketiga lainnya sampai proses mengubah produk tekstil tersebut menjadi serat-serat yang baru. Keberadaan thrifting juga meruntuhkan penjualan industri lokal, dengan pakaian-pakaian impor yang murah membanjiri negara-negara yang sebelumnya ditopang UMKM. Akibatnya, penjualan pakaian lokal berkurang drastis dan banyak orang kehilangan pekerjaannya.

Photo by Kaylin Pacheco on Unsplash

Memang sulit beralih dari tren yang murah meriah ini, tapi saat Anda berpikir jika thrifting hanyalah produk sampingan dari fast fashion Anda akan berpikir yang lain. Selain itu, perlu diingat juga bahwa sebagus apapun produk-produk thrifting ini, pakaian-pakaian itu tidak bertahan lama. Kenapa? Karena produk yang dikeluarkan adalah produk yang diciptakan dengan jumlah banyak dan kualitas tidak tahan lama.

Salah satu cara lain melawan sistem ini adalah kurangi belanja Anda. Mendaur ulang pakaian memang bagus, tapi lebih baik dimulai dari koleksi Anda sendiri, pilah-pilah benar baju-baju di lemari Anda yang masih bisa dimodifikasi atau dipakai ulang, sebelum Anda membeli baju lewat thrifting. Tentu saja, hal ini tidak sama rasanya dengan mencari baju bagus di antara tumpukan pakaian-pakaian bermerek dan murah itu. Namun, mendaur ulang pakaian di toko sama saja menambah pakaian di lemari Anda, dan akan tambah sia-sia jika akhirnya berakhir menjadi sumbangan pakaian ke toko pakaian bekas.

Perlu kita sadari juga, merek-merek pakaian yang masuk lewat impor pakaian bekas hanyalah merek fast fashion, bukan merek high fashion seperti Louis Vuitton atau Hermes. Jika Anda pernah bertanya-tanya mengapa demikian, jawabannya sederhana. Merek-merek pakaian mahal tersebut tidak menerapkan sistem fast fashion yang membuat koleksi pakaian baru tiap dua minggu sekali. Dalam setahun, mereka mungkin hanya mengeluarkan empat koleksi pakaian dengan jumlah produksi terbatas dan penjualannya tertutup hanya kepada pelanggan setia mereka. sederhananya, mereka tidak membuang baju koleksi lama mereka, karena memang tidak ada sisa pakaian yang perlu dibuang.

Kesimpulan dari penjelasan saya yang panjang ini adalah, thrifting memang menyenangkan tapi dalam pelaksanaannya (membeli atau menjual) kita perlu memperhatikan etika ramah lingkungan yang sebenarnya: jangan berlebihan dalam membeli atau menjual pakaian. Selain itu, sebelum membeli pakaian untuk mendaur ulang fast-fashion, kita perlu mendaur ulang pakaian di lemari kita sendiri.

--

--